12 Februari 2013

Antara Ada dan Tiada, Antara Desa dan Kota

Kota Salaman


Disaat sedang bermain tournament dalam sebuah game online pada pukul 02.45 wib, sepertinya salah satu pasukan (sang pemberi wahyu) memberi saya ide sekaligus mengingatkan saya akan posting wajib fardhu ‘ain di bulan ini dari sang sesepuh blogosphere yang saya diami. Yang selama beberapa bulan sebelumnya, tak sengaja terabaiakan (utange selod numpok, + dendane larang maneh).

Mengapa saya katakan mahal, karena waktu itu tak mungkin kembali. Tak semudah masuk di laci meja belajar nobita yang terhubung dengan lorong waktu di masa lalu yang dibuat doraemon. Tulisan ini menyebabkan game yang saya mainkan menjadi tak terkendali dengan multitasking.

Dengan tema Desa dan Kota, saya teringat akan lagu antara ada dan tiada yang dinyanyikan oleh PIA Utopia yang mengingatkan saya akan sinema misteri di TV beberapa tahun yang lalu. Memang, lagu ini dirasa cocok untuk sinema-sinema misteri yang sesuai dengan iramanya. ( Kronologi penemuan judul)

Antara ada dan tiada, antara desa dan kota. Ke-ada-an dan ketiadaan ini menjadi belenggu pembeda yang paling kentara ketika membandingkan antara Kota dan Desa. Beberapa diantaranya yaitu teknologi dan keramaian. Kedua hal ini bisa menjadi dua tolok ukur pembanding kedua daerah ini yang tak perlu untuk diberi kesenjangan.
Desa ngampon dari pucuk bukit

Fasilitas
               
               Kota:     Lengkap, dekat. Dengan hampir kebanyakan industri pabrik pengolahan bahan itu berada di kota. Menjadikan daerah ini terbebas dari belenggu kekurangan kebutuhan sekunder maupun tersier. Dan juga kompetisi yang berlangsung antara pembuka usaha yang tak jauh berbeda membuat lokasi-lokasi pemenuhan kebutuhan itu dekat. Minimarket, mall, pasar, restoran, toko, cafĂ©.
               
                Desa:     Terbatas, Jauh. Hampir seluruh sumber bahan olahan didapat dari pedesaaan. Sawah, kebun, sungai, tambang, air, tanah. Menjadikan daerah ini tak kekurangan bahan kebutuhan primer. Tetapi, dengan terbatasnya teknologi industri dan pabrik pengolahan menjadikan pedesaan sedikit kesulitan menciptakan bahan olahan lain dan terpaksa bepergian untuk memenuhi kebutuhan lainnya.

Kebudayaan dan karakter
                
                Kota:     Modern, up to date, cepat berubah. Tak bisa dipungkiri bahwa apapun yang diciptakan saat ini akan menjadi budaya di kemudian hari. Sama halnya dengan sejarah yang menjadi budaya di masa kini. Dan hal ini berlangsung dengan sangat dinamis di kota. Bahkan untuk ukuran kota-kota besar, perubahan ini terlalu cepat sehingga khalayak umum yang tak mampu mengikutinya hanya bisa terpana dan membuat mereka menjadi pribadi yang terlambat mengikuti zaman (katrok). Untuk generasi middle age dan over age, hal semacam ini bukanlah masalah. Kebanyakan dari mereka sudah mendapat kemapanan entah dari sisi finansial maupun beberapa tujuan hidup sudah tercapai sehingga selanjutnya hanyalah menjalani dan mengikuti budaya yang sudah ada. Tetapi hal ini menjadi masalah untuk para generasi starter age. Dimana penyerapan budaya modern ini sanggup menghabisi sebagian besar perhatian/ kepedulian mereka. Kota juga dianggap tempat yang tepat untuk menguji mental seseorang dimana kemampuan, kerja keras dan kompetisi cukup ketat.
                
               Desa:     Classic, konservatif, mempertahankan tradisi . Keadaan desa yang tenang, penuh tumbuh-tumbuhan yang hijau serta pemandangan yang elok mampu mengusir rasa penat bagi para wisatawan. Udara yang sejuk, kicauan burung, ayam berkokok dan sapi yang melenguh serasa menjadikan tubuh ini menjadi bagian dari alam lagi. Begitu pula untuk para penduduk di desa itu sendiri, angkatan kerja memiliki waktu kerja yang lebih fleksibel serta sebuah hegemoni nrimo ing pandum (menerima apa adanya) dalam hal rezeki seolah-olah menjadikan pedesaan itu lambat mengalami kemajuan entah itu dari sisi teknologi maupun sumber daya manusianya.

Batasan Waktu

                Kota:     Terasa cepat dan terbatas. Kecepatan waktu berjalan bagi tiap orang-orang itu berbeda. Bergantung dari seberapa fokus orang itu mengerjakan sesuatu. Semakin fokus, waktu itu terasa semakin cepat. Sementara ketika kita mampu mambagi waktu dengan baik, waktu itu terasa sangat berharga. Di kota dengan kehidupan yang bisa dikatakan tak mengenal siang-malam. Hampir selalu ramai. Menjadikan guliran waktu itu hilang makna aslinya, dan momen-momen khusus itu seolah menjadi kejadian yang biasa-biasa saja.
    
                Desa:     Terasa lama dan tak terbatas. Dengan aktivitas yang sebagian besar hanya dilakukan di siang hari. Guliran waktu di desa itu terasa lama ketika waktu itu tak dihabiskan untuk sesuatu yang menjadi karya.  Tetapi kebersamaan dan kekeluargaan itu tumbuh ketika tiba malam hari dimana keluarga berkumpul dan sedang tidak mengerjakan apa-apa. Dengan waktu yang terasa tak berbatas ini, membuat saya merasa desa adalah sebuah tempat yang sehat di untuk mengabiskan masa-masa tua.

Keadaan yang berbeda antar desa dan kota ini juga menjadikan munculnya daerah sub urban. Daerah dimana secara struktural masih dianggap desa tetapi menjadi kediaman bagi para pekerja yang bekerja di kota/ daerah lain.

Walau terdapat perbedaan yang mencolok. Kota dan desa memiliki hubungan secara berkesinambungan dan seharusnya harmonis untuk menjaga kestabilan perekonomian dan kebudayaan di suatu daerah.

Photos on the courtesy of jepretan dewe

2 komentar:

  1. desa adalah surga dunia, sehingga salah satu kosa kata bahasa Inggris mengambil kata paradise dari varadhesa....

    BalasHapus
  2. begitu toh kang... di gugel trans paradise = firdaus malahan.

    BalasHapus

komentar

Yang Sempat Mampir