Kota Salaman |
Disaat sedang bermain tournament
dalam sebuah game online pada pukul 02.45 wib, sepertinya salah satu pasukan
(sang pemberi wahyu) memberi saya ide sekaligus mengingatkan saya akan posting
wajib fardhu ‘ain di bulan ini dari
sang sesepuh blogosphere yang saya
diami. Yang selama beberapa bulan sebelumnya, tak sengaja terabaiakan (utange selod numpok, + dendane larang maneh).
Mengapa saya katakan mahal, karena waktu itu tak mungkin
kembali. Tak semudah masuk di laci meja belajar nobita yang terhubung dengan
lorong waktu di masa lalu yang dibuat doraemon. Tulisan ini menyebabkan game
yang saya mainkan menjadi tak terkendali dengan multitasking.
Dengan tema Desa dan Kota, saya teringat akan lagu antara
ada dan tiada yang dinyanyikan oleh PIA Utopia yang mengingatkan saya akan
sinema misteri di TV beberapa tahun yang lalu. Memang, lagu ini dirasa cocok
untuk sinema-sinema misteri yang sesuai dengan iramanya. ( Kronologi
penemuan judul)
Antara ada dan tiada, antara desa dan kota. Ke-ada-an dan
ketiadaan ini menjadi belenggu pembeda yang paling kentara ketika membandingkan
antara Kota dan Desa. Beberapa diantaranya yaitu teknologi dan keramaian. Kedua
hal ini bisa menjadi dua tolok ukur pembanding kedua daerah ini yang tak perlu
untuk diberi kesenjangan.
Desa ngampon dari pucuk bukit |
Fasilitas
Kota: Lengkap, dekat. Dengan hampir kebanyakan industri
pabrik pengolahan bahan itu berada di kota. Menjadikan daerah ini terbebas dari
belenggu kekurangan kebutuhan sekunder maupun tersier. Dan juga kompetisi yang
berlangsung antara pembuka usaha yang tak jauh berbeda membuat lokasi-lokasi
pemenuhan kebutuhan itu dekat. Minimarket, mall, pasar, restoran, toko, café.
Desa: Terbatas, Jauh. Hampir seluruh sumber bahan
olahan didapat dari pedesaaan. Sawah, kebun, sungai, tambang, air, tanah.
Menjadikan daerah ini tak kekurangan bahan kebutuhan primer. Tetapi, dengan
terbatasnya teknologi industri dan pabrik pengolahan menjadikan pedesaan
sedikit kesulitan menciptakan bahan olahan lain dan terpaksa bepergian untuk
memenuhi kebutuhan lainnya.
Kebudayaan dan
karakter
Kota: Modern, up to date, cepat berubah. Tak bisa
dipungkiri bahwa apapun yang diciptakan saat ini akan menjadi budaya di
kemudian hari. Sama halnya dengan sejarah yang menjadi budaya di masa kini. Dan
hal ini berlangsung dengan sangat dinamis di kota. Bahkan untuk ukuran
kota-kota besar, perubahan ini terlalu cepat sehingga khalayak umum yang tak
mampu mengikutinya hanya bisa terpana dan membuat mereka menjadi pribadi yang
terlambat mengikuti zaman (katrok). Untuk generasi middle age dan over age,
hal semacam ini bukanlah masalah. Kebanyakan dari mereka sudah mendapat
kemapanan entah dari sisi finansial maupun beberapa tujuan hidup sudah tercapai
sehingga selanjutnya hanyalah menjalani dan mengikuti budaya yang sudah ada.
Tetapi hal ini menjadi masalah untuk para generasi starter age. Dimana penyerapan budaya modern ini sanggup menghabisi
sebagian besar perhatian/ kepedulian mereka. Kota juga dianggap tempat yang
tepat untuk menguji mental seseorang dimana kemampuan, kerja keras dan
kompetisi cukup ketat.
Desa: Classic, konservatif, mempertahankan
tradisi . Keadaan desa yang tenang, penuh tumbuh-tumbuhan yang hijau serta
pemandangan yang elok mampu mengusir rasa penat bagi para wisatawan. Udara yang
sejuk, kicauan burung, ayam berkokok dan sapi yang melenguh serasa menjadikan
tubuh ini menjadi bagian dari alam lagi. Begitu pula untuk para penduduk di
desa itu sendiri, angkatan kerja memiliki waktu kerja yang lebih fleksibel
serta sebuah hegemoni nrimo ing pandum
(menerima apa adanya) dalam hal rezeki seolah-olah menjadikan pedesaan itu
lambat mengalami kemajuan entah itu dari sisi teknologi maupun sumber daya
manusianya.
Batasan Waktu
Kota: Terasa cepat dan terbatas. Kecepatan waktu
berjalan bagi tiap orang-orang itu berbeda. Bergantung dari seberapa fokus
orang itu mengerjakan sesuatu. Semakin fokus, waktu itu terasa semakin cepat.
Sementara ketika kita mampu mambagi waktu dengan baik, waktu itu terasa sangat
berharga. Di kota dengan kehidupan yang bisa dikatakan tak mengenal
siang-malam. Hampir selalu ramai. Menjadikan guliran waktu itu hilang makna
aslinya, dan momen-momen khusus itu seolah menjadi kejadian yang biasa-biasa
saja.
Desa: Terasa lama dan tak terbatas. Dengan
aktivitas yang sebagian besar hanya dilakukan di siang hari. Guliran waktu di
desa itu terasa lama ketika waktu itu tak dihabiskan untuk sesuatu yang menjadi
karya. Tetapi kebersamaan dan
kekeluargaan itu tumbuh ketika tiba malam hari dimana keluarga berkumpul dan
sedang tidak mengerjakan apa-apa. Dengan waktu yang terasa tak berbatas ini,
membuat saya merasa desa adalah sebuah tempat yang sehat di untuk mengabiskan
masa-masa tua.
Keadaan yang berbeda antar desa dan kota ini juga menjadikan
munculnya daerah sub urban. Daerah
dimana secara struktural masih dianggap desa tetapi menjadi kediaman bagi para
pekerja yang bekerja di kota/ daerah lain.
Walau terdapat perbedaan yang mencolok. Kota dan desa
memiliki hubungan secara berkesinambungan dan seharusnya harmonis untuk menjaga
kestabilan perekonomian dan kebudayaan di suatu daerah.
Photos on the courtesy of jepretan dewe
Photos on the courtesy of jepretan dewe
desa adalah surga dunia, sehingga salah satu kosa kata bahasa Inggris mengambil kata paradise dari varadhesa....
BalasHapusbegitu toh kang... di gugel trans paradise = firdaus malahan.
BalasHapus